Kamis, 27 Agustus 2015

Teori Belajar Konstruktivisme





BAB 1. PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Belajar adalah perubahan yang relatif permanen dalam perilaku atau potensi perilaku sebagai hasil dari pengalaman atau latihan yang diperkuat. Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon.[1]
Dari suatu proses belajar diperoleh suatu hasil yang sangat signifikan, dikarenakan yang sebelumnya tidak mengetahui menjadi mengetahui dan yang sebelumnya belum memahamin dapat menjadi paham setelahnya.
Dalam suasana saat ini, istilah belajar tidak hanya menjadi penggambaran suatu usaha mengetahui sesuatu begitu saja, melainkan memiliki berbagai teori dan model yang terus berkembang sesuai dengan kemajuan zaman. Salah satu perkembangan teori belajar adalah teori belajar konstruktivisme.
Meski bukan hal yang baru teori belajar konstruktivisme menjadi salah satu dasar teori belajar yang sudah mengakar pada dunia pendidikan dengan berbagai karakteristik, kelebihan, maupun kekuranganya.
Teori belajar konstruktivisme secara umum dapat didefinisikan sebagai sebagai experimental learning, yang merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkret di lapangan, di laboratorium, berdiskusi dengan teman, dan dikembangkan menjadi pengetahuan, konsep, serta ide baru. Peserta didik sebagai subjek pembelajaran yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka sebagai bentuk tanggung jawabnya sebagai pembelajar.[2]
Dari pengertian secara umum tersebut masih begitu banyak hal mengenai teori belajar konstruktivisme. Oleh karena itu perlu adanya suatu kajian lebih mendalam, sehingga memunculkan pemahaman yang lebih luas akan teori belajar tersebut.
1.2  Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang ada, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1)      Apa yang dimaksud dengan teori belajar konstruktivisme?
2)      Bagaimana karakteristik dari teori belajar konstruktivisme?
3)      Apa kelebihan dan kekurangan dari teori belajar konstruktivisme?
4)      Bagaimana pengaplikasian teori belajar konstruktivisme terhadap aktivitas belajar peserta didik?
1.3  Tujuan dan Manfaat
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:
1)      Mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan teori belajar konstruktivisme;
2)       Mengetahui dan memahami karakteristik dari teori belajar konstruktivistik;
3)      Mengetahui dan memahami kelebihan dan kekurangan dari teori belajar konstruktivisme;
4)      Mengetahui dan memahami pengaplikasian teori konstruktivisme terhadap aktivitas belajar peserta didik.
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka manfaat dari pembuatan makalah ini adalah:
1)      Memahami lebih dalam akan definisi teori belajar konstruktivisme;
2)      Memahami lebih dalam akan karakteristik, kelebihan, dan kekurangan teori belajar konstruktivisme;
3)      Memahami cara pengaplikasian teori konstruktivisme terhadap aktivitas belajar peserta didik.























BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Definisi Teori Belajar Konstruktivisme
Teori konstruktivistik didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat kognitif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti:
1.      Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada;
2.      Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka;
3.      Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling mempengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru;
4.      Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahaman yang sudah ada;
5.      Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasanya tidak konsisten atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah;
6.      Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar untuk menarik minat pelajar.
Konstruktivistik, constructivism dalam bahasa Inggris berasal dari kata construct yang berarti membina. Konstruktivisme ialah teori yang bertunjangkan usaha pelajar mengaitkan ide lama dengan ide baru dalam membina ilmu pengetahuan. Teori ini pertama kali diperkenalkan dalam konteks pendidikan dan perkembangan anak-anak oleh Piaget dan John Dewey.
Konstruktivistik atau konstruktivisme merupakan suatu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah sebuah konstruksi atau bentukan diri kita sendiri. Dan menurut Piaget pembentukan atau konstruksi ini tak pernah mencapai suatu titik akhir namun terus berkembang setiap kali diadakanya reorganisasi karena adanya suatu pemahaman baru.
Konstruktivisme pembelajaran ialah desain pembelajaran yang menekankan kemampuan peserta didik dalam mengkonstruksi pengetahuanya sendiri, bukan serta merta pendidik yang selalu menjadi senter penerang dikala gelap melanda. Namun di sinilah setiap peserta didik secara individual harus dan layak memiliki kemampuan untuk memperdayakan fungsi-fungsi psikis dan mental yang dimilikinya. Yaitu kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman yang lalu, membandingkan dan mengambil sebuah keputusan dan kemampuan yang lebih menyukai satu dari yang lainya.
Prinsip dasar yang mendasari filsafat konstruktivis adalah bahwa semua pengetahuan dikonstruksikan (dibangun) dan bukan dipersepsi secara langsung oleh indera (penciuman, penglihatan, perabaan) bahwa konstruktivisme berakar pada asumsi bahwa pengetahuan, tidak peduli bagaimana pengetahuan itu didefinisikan, terbentuk didalam otak manusia, dan subjek yang berpikir tidak memiliki alternatif selain mengkonstruksikan apa yang diketahuinya berdasarkan pengalamanya sendiri. Semua pikiran kita didasarkan oleh pada pengalaman kita sendiri, dan oleh karenanya bersifat subjektif.
Setara dengan di atas, Budingsih juga mengemukakan bahwa faktor-faktor yang juga mempengaruhi proses mengkonstruksi pengetahuan seseorang yang telah ada, domain pengalaman, dan jaringan struktur kognitif yang dimilikinya. Proses dan hasil konstruksi pengetahuan yang telah dimiliki seseorang akan menjadi pembatas konstruksi pengetahuan yang akan datang. Pengalaman akan fenomena yang baru menjadi unsur pentingdalam membentuk dan mengembangkan pengetahuan. Keterbatasan pengalaman seseorang pada suatu hal juga akan membatasi pengetahuanya akan hal tersebut. Pengetahuan yang telah dimiliki orang tersebut akan membentuk suatu jaringan struktur kognitif dirinya.
Semua kalangan dari paham konstruktivis menyetujui bahwa pengetahuan secara aktif dikonstruksi oleh manusia, entah secara individual atau pun dalam kelompok, bukanya diterima dari sumber natural. Selain ini, definisi konstruktivisme beragam menurut permasalahan yang diperdebatkan bersama dengan perubahan konstruktivis. Bidang perdebatan yang paling dasar dipresentasikan oleh suatu rangkaian dalam memandang belajar sebagai suatu tindakan instruksi secara individual untuk melihat belajar sebagai sebuah konstruksi sosial. Rangkaian ini dipusatkan pada satu posisi yang dikenal sebagai konstruktivisme radikal atau psikologikal, yang menggambarkan konstruksi pengetahuan sebagai suatu proses yang terjadi dalam mind dari individu. Pada sisi lain dari rangkaian tersebut diberlakukan dengan posisi yang dikenal sebagai ”social constructivism or sociocultural position”  yang melihat “mind” sebagai hampir secara keseluruhan melekat pada social practice of the culture (kenyataan sosial budaya).
Dengan demikian, konstruktivisme adalah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah bentukan (konstruksi) kita sendiri. Pengetahuan bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan merupakan hasil dari konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang dengan membuat struktur, kategori, konsep, dan skema yang diperlukan untuk membentuk pengetahuan baru. Pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa realitas ada pada pikiran seseorang. Manusia mengkonstruksi pengalamanya. Konstruktivitik mengarahkan perhatianya pada bagaimana seseorang mengkonstruksi pengetahuan dari pengalamanya, struktur mental, dan keyakinan yang digunakan untuk mengintepretasikan objek dan peristiwa-peristiwa. Pandangan konstruktivistik mengakui bahwa pikiran adalah instrumen penting dalam mengintepretasikan kejadian, objek, dan pandangan dunia nyata, di mana intepretasi tersebut terdiri dari pengetahuan dasar manusia secara individual. Dalam konstruktivis menyatakan bahwa semua pengetahuan yang kita peroleh adalah konstruksi kita sendiri, maka mereka menolak kemungkinan transfer pengetahuan dari seseorang kepada yang lain bahkan secara prinsipil.
Konstruksi berarti bersifat membangun, dalam konsteks filsafat pendidikan, konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern. Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dari memberi makna melalui pengalaman nyata.[3]
2.1.1 Pembelajaran Menurut Paradigma Konstruktivisme
Menurut Suparno, paham konstruktivistik pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari orang mengenal sesuatu (skema). Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada orang lain karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang diketahuinya. Pembentukan pengetahuan merupakan proses kognitif tempat terjadi asimilasi dan akomodasi untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga terbentuk suatu skema (jamak skema) yang baru. Seseorang yang belajar berarti membentuk pengertian atau pengetahuan secara aktif dan terus menerus. Konstruksi bersifat membangun. Dalam konteks filsafat pendidikan, konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern. Konstruktivisme adalah landasan berpikir (filosofi) pembelajaran konstektual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak secara tiba-tiba. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil atau diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Adapun menurut Tran Vui, konstruktivisme adalah suatu filsafat yang dibangun atas pengalaman-pengalaman sendiri. Sedangkan teori konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan kebebasan terhadap manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan untuk menemukan keinginan atau kebutuhanya tersebut dengan bantuan fasilitas orang lain. Manusia untuk belajar menemukan sendiri kompetensi pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang diperlukan gina mengembangkan dirinya.
Dari keterangan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa teori konstruktivisme memberikan keaktifan terhadap manusia untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan dirinya. Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggungjawab siswa. Sedangkan, tujuan teori konstruktivisme sebagai berikut.
a.       Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaanya;
b.      Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap;
c.       Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri. Lebih menekankan kepada proses belajar, bagaimana belajar itu.
Hal yang paling penting adalah guru tidak boleh hanya memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuan didalam benaknya. Seorang guru dapat membantu proses ini dengan cara membuat pembelajaran menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa. Selain itu, memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide dan mengajak siswa menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru. Apa yang dilalui dalam kehidupan manusia selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Hal ini menyebabkan seseorang memunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti pembelajaran aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada. Dalam konteks pembelajaran, pembelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka.
Konstruktivisme sebagai deskripsi koqnitif manusia sering di asosiasikan dengan pendekatan pedagogi yang mempromosikan learning by doing. Teori ini memberikan keaktifan terhadap manusia untuk belajar menemukan kompetensi diri, pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan dirinya. Menurut asalnya, teori konstruktivisme bukanlah teori pendidikan. Teori ini berasal dari disiplin filsafat, khusunya filsafat ilmu. Pada tataran filsafat, teori ini membahas mengenai bagaimana proses terbentuknya pengetahuan manusia. Menurut teori ini pembentukan pengetahuan terjadi sebagai hasil kontruksi manusia atas realitas yang dihadapinya. Dalam perkembangan kemudian, teori ini mendapat pengaruh dari disiplin psikologi, terutama psikologi kognitif Piaget, yang berhubungan dengan mekanisme psikologis yang mendorong terbentuknya pengetahuan. Menurut kaum konstruktivis, belajar merupakan proses aktif siswa mengkonstruksi pengetahuan. Proses tersebut dicirikan oleh beberapa hal sebagai berikut:
a.       Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan, dan alami. Konstruksi makna ini dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia punyai;
b.      Konstruksi makna merupakan suatu proses yang berlangsung seumur hidup;
c.       Belajar bukan kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih berorientasi pada pengembanGan berfikir dan pemikiran dengan cara membentuk pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil dari perkembangan, melainkan perkembangan-suatu perkembangan yang menuntun penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang
d.      Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skemata seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi disequilibrium merupakan situasi yang baik dalam belajar;
e.       Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman belajar dengan dunia fisik dan lingkungan siswa;
f.       Hasil belajar siswa tergantung pada apa yang sudah diketahuinya.[4]
2.1.2 Tokoh-tokoh Teori Belajar Konstruktivisme
a.       Driver dan Bell
Driver dan Bell mengajukan karakteristik teori belajar teori belajar konstruktivistik sebagai berkut:
1)      Siswa dapat dipandang sebagai sesuatu yang pasif, tetapi memiliki tujuan;
2)      Belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa;
3)      Pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal;
4)      Pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas;
5)      Kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajarn, materi, dan sumber.
b.      J. J. Piaget
Berikut ini adalah tiga hal pokok Piaget dalam kaitanya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap perkembangan konstruktivisme kognitif atau bisa juga disebut tahap perkembangan mental, yaitu sebagai berikut:
1)      Perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama;
2)      Tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengaturan, pengekalan, pengelompokkan, pembuatan Hipotesis dan penarikan kesimpulan yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual;
3)      Gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibrium), proses pengembangan yang menguraikan interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan sruktur kognitif yang timbul (akomodasi).
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis, menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Menurut Ruseffendi, asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru sehingga informasi tersebut mempunyai tempat. Pengertian tentang akomodasi yang lain seperti yang dikemukakan oleh Suparno adalah proses mental yang meliputi pembentukkan skema baru yang cocok dengan rangsangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.
c.       Vigotsky
Berbeda dengan konstruktivisme kognitif yang dikemukakan oleh Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky memiliki pengertian bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah dalam konteks sosial budaya seseorang. Dalam penjelasan lain, Tanjung mengatakan bahwa inti kognitivis Vigotsky adalah interaksi aspek internal dan eksternal yang perkenaanya pada lingkungan sosial dalam belajar.
d.      Tasker
Tasker mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut:
1)      Peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna.
2)      pentingnya membuat kaitan antar gagasan dalam pengonstruksian secara bermakna;
3)      mengaitkan antara gagasan dan informasi baru yang diterima
e.       Wheatley
Wheatley mendukung pendapat diatas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstruktivisme, yaitu sebagai berikut:
1)      Pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif tetapi secara aktif oleh struktur koqnitif siswa;
2)      Fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Kedua pengertian diatas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan penguasaan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungan. Bahkan secara spesifik, Hudoyo mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari pada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan memengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.
f.       Hanbury
Hanbury mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitanya dengan pembelajaran, yaitu sebagai berikut:
1)      Siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengkonstruksi ide yang mereka miliki;
2)      Pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti;
3)      Strategi siswa lebih bernilai;
4)      Siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan sesamanya.
Berdasarkan beberapa pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih memfokuskan pada kesukaan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman Mereka bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atau aapa yang telah diperhatikan dan dilakaukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.[5]
2.2 Karakteristik Teori Belajar Konstruktivisme
Berikut ini uraian mengenai karakteristik dari teori belajar konstruktivisme, antara antara lain:
1.      Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri;
2.      Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke murin, kecualai hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar;
3.      Murid-murid mengkonstruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah;
4.      Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses konstruksi berjalan dengan lancar;
5.      Struktur pembelajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan selain itu yang paling penting adalah guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini dengan cara mengajar yang membuat informasi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri mereka sendiri untuk belajar;
6.      Para siswa harus dapat secara aktif mengasimilasi dan mengakomodasi pengalaman baru ke dalam kerangka kognitifnya;
7.      Untuk mengajar dengan baik, guru harus memahami model-model mental yang digunakan para siswa untuk mengenal dunia mereka dan penalaran yang dikembangkan, dan yang dibuat para siswa untuk mendukung model-model itu;
8.      Siswa perlu mengkonstruksi pemahaman yang mereka sendiri untuk masing-masing konsep materi sehingga guru dalam mengajar bukanya “menguliahi”, menerangkan atau upaya-upaya sejenis untuk memindahkan pengetahuan pada siswa tetapi menciptakan situasi bagi siswa yang membantu perkembangan mereka membuat konstruksi-konstruksi mental yang diperlukan;
9.      Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik;
10.  Latihan memecahkan masalah sering kali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari;
11.  Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai dengan dirinya. Guru hanya sebagai fasilitator, mediator, dan teman yang membuat situasi konsdusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.[6]
12.  Memberi peluang kepada pembelajar untuk membina pengetahuan baru melalui keterlibatanya pada dunia sebenarnya;
13.  Mendorong ide-ide pembelajar sebagai panduan merancang pengetahuan;
14.  Mendukung pembelajaran secara kooperatif;
15.  Mendorong dan menerima usaha dan hasil yang diperoleh pembelajar;
16.  Mendorong pembelajar mau bertanya dan berdialog dengan guru;
17.  Menganggab pembelajaran sebagai suatu proses yang sama penting dengan hasil pembelajaran;
18.  Mendorong proses inquiry pembelajar melaui kajian dan eksperimen.[7]
2.3 Kelebihan dan Kekurangan Teori Belajar Konstruktivisme
a.       Kelebihan
Murid berpikir untuk menyelesaikan masalah, menjalankan ide dan membuat keputusan. Paham karena murid terlibat secara langsung dalam membina pengetahuan baru, mereka akan lebih paham dan boleh mengaplikasikanya dalam semua situasi. Selain itu murid terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep. Kemahiran sosial diperoleh apabila berinteraksi dengan rekan dan guru dalam membina pengetahuan baru.
1.      Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri;
2.      Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaan;
3.      Membantu siswa untuk membangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap;
4.      Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri;
5.      Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.[8]
6.      dalam proses membina pengetahuan baru pembelajar berpikir untuk menyelesaikan masalah, menjalankan ide-idenya dan membuat keputusan.
7.      karena pembelajar terlibat langsung dalam membawa pengetahuan baru, pembelajar lebih paham dan dapat mengaplikasikanya dalam semua situasi.
8.      karena pembelajar terlibat langsung secara aktif, pembelajar akan mengingat semua konsep lebih lama.
9.      pembelajar akan lebih memahami keadaan lingkungan sosialnya yang diperoleh dari interaksi dengan teman dan guru dalam membina pengetaghuan baru.
10.  karena pembelajar terlibat langsung secara terus menerus , pembelajar akan paham, ingat, yakin, dan berinteraksi dengan sehat. Dengan demikian, pembelajar akan merasa senang belajar dan membina pengetahuan baru.[9]

b.      Kelemahan
Dalam bahasan kekurangan atau kelemahan ini mungkin bisa kita lihat dalam proses belajar, antara lain:
1.      Proses belajarnya dimana peran guru sebagai pendidik itu sepertinya kurang begitu mendukung;
2.      Siswa berbeda persepsi satu dengan yang lainya.[10]
3.      karena cakupanya luas, lebih sulit dipahami.[11]
2.4 Pengaplikasian Teori Konstruktivisme terhadap Aktivitas Belajar Peserta Didik
Pada empat abad sebelum masehi, Socreates telah menggulirkan paham konstruktivisme, dengan mengembangkan metode belajar berdasarkan penemuan ini disebut sebagai metode dialektik dengan menerapkan antara guru dan pembelajar. Guru menanyakan sesuatu pada pembelajar yang menuntut pembelajar menganalisis pengetahuanya.
Socreates mengembangkan cara berpikir induktif pembelajar diminta untuk merumuskan pengetahuanya dari hasil penemuan-penemuan ide dan gagasan. Pemikiran Socreates ini diikuti oleh muridnya Plato dan diteruskan oleh Aristoteles.
Konstruktivisme dalam belajar dimaknai juga sebagai experimental learning, yang merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkret di lapangan, di laboratorium, berdiskusi dengan teman, dan dikembangkan menjadi pengetahuan, konsep, serta ide baru. Peserta didik sebagai subjek pembelajaran yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka sebagai bentuk tanggung jawabnya sebagai pembelajar.
Menurut Vigotsky yang menganut konstruktivisme, pengertian ilmiah tidak datang dalam bentuk yang jadi pada seorang anak. Pengertian ilmiah tersebut mengalami perkembangan dan bergantung pada tingkat kemampuan anak untuk menangkap suatu model pengertian yang lebih ilmiah.
Sejalan dengan paham konstruktivisme pada abad ke-16, Jonatan Amos Comenius dan Wolfgang Ratke menyarankan sebaiknya pengajaran dilaksanakan dari yang sederhana kepada yang majemuk, dari yang konkret ke yang abstrak, benda dahulu baru kaidah, analisa dulu baru konstruksi. Belajar dengan mengingat hanya untuk hal-hal yang berguna.
Pendapat yang sepaham dikemukakan oleh Tyler menjelaskan bahwa implementasi teori belajar konstruktivisme dengan runtutan cara sebagai berikut:
a.       Memberi memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasanya dengan bahasa sendiri;
b.      Memberi kesempatan kepada siswa untuk berpikir tentang pengalamanya sehingga lebih kreatif dan imajinatif;
c.       Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru;
d.      Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa;
e.       Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka;
f.       Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Vigotsky lebih mantap lagi dalam mengembangkan teori konstruktivisme  ini dengan mengemukakan perkiraanya bahwa mengkonstruksi pengetahuan baru dengan cara kooperatif (cooperative learning). Pembelajar dapat terlibat secara aktif dalam interaksi sosial untuk bekerja sama mencapai tujuan pembelajaran. Melalui diskusi kelompok-kelompok kecil, para pembelajar dapat membangun pengetahuan baru atau suatu kesimpulan berdasarkan pemikiran bersama.
Konstruktivisme pada dasarnya mengharapkan pembelajar mengkonstruksi dan mengembangkan pengetahuanya dengan menggali dari berbagai pengalaman dan informasi yang didapat. Pembelajar tidak hanya menyerap apa yang dijelaskan oleh gurunya. Pembelajar dan guru diharapkan lebih kreatif, inovatif. Guru sebagai pencerdas sebaiknya memosisikan pembelajar tidak sebagai objek belajar, tetapi sebagai subjek belajar.
Peserta didik dan guru selayaknya memformulasikan pembelajaran dengan menyenangkan, bergembira, semangat, dan demokratis yang menghargai setiap pendapat sehingga pada akhir tujuan pembelajaran dapat dicapai dengan efektif dan efisien.
Ilustrasi pembelajaran berdasarkan teori konstruktivisme dicontohkan seperti berikut: guru memfasilitasi peserta didik belajar berkelompok dan berdiskusi untuk mempelajari suatu materi. Mereka menggali setiap informasi dari berbagai wacana atau sumber belajar. Peserta didik belajar membuka wawasan dan mengembangkan gagasan-gagasan untuk menyimpulkan pengetahuan yang baru. [12]
2.4.1        Unsur Penting dalam Lingkungan Pembelajaran Konstruktivisme
Widodo menyimpulkan tentang ilmu unsur penting dalam lingkungan pembelajaran yang konstruktivis sebagai berikut:
a.       Memerhatikan dan memanfaatkan pengetahuan awal siswa
Kegiatan pembelajaran ditujukan untuk membantu siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan baru dengan memanfaatkan pengetahuan awal yang telah dimilikinya. Oleh karena itu pembelajaran harus memperhatikan pengetahuan awal siswa dan manfaat teknik-teknik untuk mendorong agar terjadi perubahan konsepsi pola pada diri siswa.
b.      Pengalaman belajar yang autentik dan bermakna
Segala kegiatan yang dilakukan di dalam pembelajaran dirancang sedemikian rupa sehingga bermakna bagi anak. Oleh karena itu minat, sikap, dan kebutuhan belajar siswa benar-benar dijadikan bahan pertimbangan dalam merancang dan melakukan pembelajaran. Hal ini dapat terlihat dari usaha-usaha untuk mengaitkan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, penggunaan sumber daya dari kehidupan sehari-hari, dan juga menerapkan konsep.
c.       Adanya lingkungan sosial yang kondusif
Siswa diberi kesempatan untuk bisa berinteraksi secara produktif dengan sesama siswa maupun dengan guru. Selain itu, juga ada kesempatan bagi siswa untuk bekerja dalam berbagai konteks sosial.
d.      Adanya dorongan agar siswa bisa mandiri
Siswa didorong untuk bisa bertanggungjawab terhadap proses belajarnya. Oleh karena itu, siswa dilatih dan diberi kesempatan untuk melakukan refleksi dan mengatur kegiatan belajaranya.
e.       Adanya usaha untuk mengenalkan siswa tentang dunia ilmiah. Sains bukan hanya berupa produk (fakta, konsep, prinsip, dan teori), namun juga mencakup proses dan sikap. Oleh karena itu, pembelajaran sains juga harus bisa melatih dan memperkenalkan siswa tentang kehidupan ilmuwan.
2.4.2        Aspek-aspek Pembelajaran Konstruktivis
Fornot mengemukakan aspek-aspek pembelajaran konastruktivistik berupa adaptasi (adaptation), konsep pada lingkungan (the concept of environment), dan pembentukan makna (the construction of meaning). Dari ketiga aspek tersebut, oleh J. Piaget mengemukakan adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses, yaitu asimilasi dan akomodasi.
a.       Proses asimilasi
Proses asimilasi adalah proses kognitif ketika seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep, ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikiranya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengkalsifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus menerus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/ pergantian skemata, tetapi perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasi dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru pengertian orang itu berkembang.


b.      Proses akomidasi
Proses akomodasi dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru itu bisa saja sama sekali tidak cocok dengan skema yang ada. Dalam keadaan demikian, orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.
Menurut Piaget, adaptasi merupakan suatu keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap lingkunganya, terjadilah ketidakseimbangan (disequilibrium). Akibat ketidak seimbangan itutercapailah akomodasi dan struktur kognitif yang ada akan mengalami atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses terus-menerus tentang keadaan ketidakseimbangan dan keadaan seimbang (disequilibrium-equilibrium). Akan tetapi, bila terjadi keseimbangan, individu akan berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya.
2.4.3        Tujuan dan Hasil Belajar Menurut Paradigma Konstruktivisme
Menurut Santyasa, tujuan belajar menurut paradigma konstruktivisme mendasarkan diri pada tiga fokus belajar sebagai berikut:
a.       Proses
Fokus yang pertama adalah proses yang mendasarkan diri pada nilai sebagai dasar untuk memersepsikan apa yang terjadi apabila apabila siswa diasumsikan belajar. Nilai tersebut didasari oleh asumsi bahwa dalam belajar orang berkembang secara alamiah. Oleh sebab itu, paradigma pembelajaran hendaknya mengembalikan siswa ke fitrahkan sebagai manusia dibandingkan hanya menganggap mereka belajar hanya dari apa yang dipresentasikan oleh.
b.      Tranfer belajar
Fokus yang kedua adalah transfer belajar yang mendasarkan dari premis “siswa dapat menggunakan dibandingkan hanya dapat menanyai apa yang dipelajari”. Satu nilai yang dapat ddipetik dari premis tersebut bahwa meaningfull learning harus diyakini memiliki nilai yang lebih baik dibandingkan dengan rote learning, dan deep understanding lebih baik dibandingkan senseless memorization. Tanda pemahaman mendalam adalah kemampuan mentransfer apa yang dipelajari ke dalam situasi  baru.
c.       Bagaimana belajar
Fokus yang ketiga adalah bagaimana belajar (how to learn) memiliki nilai yang lebih penting dibandingkan dengan apa yang dipelajari. Alternatif pencapaian learning how to learn adalah dengan memberdayakan keterampilan siswa. Dalam hal ini diperlukan fasilitas belajar untuk ketrampilan berpikir.
Paradigma tentang hasil belajar yang berasal dari tujuan belajar kekinian tersebut hendaknya bergeser dari no learning dan rote learning menuju constructivistic learning. Siswa mencoba membuat gagasan tentang informasi yang diterima, mencoba mengembangkan model mental dengan mengaitkan hubungan sebab akibat, dan menggunakan proses-proses koqnitif dalam belajar. Proses-proses kognitif utama meliputi penyediaan perhatian terhadap informasi-informasi yang relevan dengan cara memilih (selecting), mengorganisasi informasi-informasi tersebut dalam representasi yang koheren melalui proses organizing, dan mengintegrasikan representasi-representasi tersebut dengan pengetahuan yang telah ada di benaknya melalui proses integrating.  
2.4.4        Implikasi Teori Konstruktivistik dalam Pembelajaran
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konatruktivisme, Tyler mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut:
a.       Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasan dengan dengan bahasa sendiri;
b.      Memberi kesempatan kepada siswa untuk berpikir tentang pengalamanya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif;
c.       Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru;
d.      Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa;
e.       Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka;
f.       Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Selain itu, Slavin menyebutkan strategi-strategi belajar pada teori konstruktivisme adalah topdown processing (siswa belajar dimulai dengan masalah yang kompleks untuk dipecahkan. Kemudian menemukan ketrampilan yang dibutuhkan), cooperative learning (strategi yang digunakan untuk proses belajar agar siswa lebih mudah dalam menghadapi problem yang dihadapi), dan generative learning (strategi yang menekankan pada integrasi yang aktif antara materi atau pengetahuan yang harus diperoleh dengan skemata).
Implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak adalah sebagai berikut:
a.       Tujuan pendidikan menurut teori ini adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berpikir untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi;
b.      Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksikan oleh peserta didik. Selain itu latihan memecahkan masalah sering dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari.
c.       Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai dengan dirinya. Guru hanya berfungsi sebagai mediator, fasilitator, dan teman yang membuat situasi kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
Teori konstruktivisme membawa implikasi dalam pembelajaran yang harus bersifar kolektif atau kelompok. Proses sosial masing-masing siswa harus dapat diwujudkan.
Bagi kaum konstruktivis, mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru kepada siswa, melainkan penciptaan sesuatu yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuanya. Mengajar berarti partisipasi aktif guru bersama-sama siswa dalam membangun pengetahuanya, membuat makna mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan jastifikasi. Jadi, mengajar adalah kegiatan belajar. Menurut prinsip konstruksinya, guru berperan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar siswa berjalan sebagaimana mestinya. Sebagai mediator dan fasilitator dapat dijabarkan tugas guru sebagai berikut:
a.       Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggungjawab dan merencanakan aktivitas belajar, proses belajar, serta yang diperoleh dari belajar;
b.      Menyediakan sarana belajar yang merangsang siswa berpikir secara produktif. Guru hendaknya menciptakan rangsangan belajar melalui penyediaan situasi problematik yang memungkinkan siswa untuk memecahkanya;
c.       Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan tingkat perkembangan berpikir siswa. Guru dapat menunjukkan dan mempertanyakan sejauh mana pengetahuan siswa untuk menghadapi persoalan baru yang berkaiatan dengan pengetahuan yang dimilikinya.
Konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan non-objektif bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu. Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkret, aktivitas kolaboratif dan rerefleksi serta intepretasi. Seseorang yang belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pengalamanya dan perspektif dalam mengintepretasikanya. Teori ini menekankan pada diri siswa Dalam penyusun pengetahuan yang ingin diperoleh oleh siswa teori menuntut siswa untuk menyadarkan keaktifan siswa untuk belajar. Sedangkan tujuan dari teori belajar konstruktivisme ini adalah:
a.       Adanya motivasi untuk siswa belajar dan bertanggung jawab atas dirinya;
b.      Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaanya;
c.       Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pembuatan konsep secara lengkap;
d.      Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri;
e.       Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar.
Konsep evaluasi pendidikan hampir sama dengan konsep pada teori konstruktivisme, yaitu menitik beratkan pada proses. Proses yang dimaksud merupakan sebuah pengalaman yang dialami langsung oleh masing-masing siswa (penyusunan pengetahuan oleh siswa).[13]
2.4.5        Aplikasi Teori Belajar Konstruktivisme dalam Pembelajaran Sejarah
Dalam konteks yang lebih khusus, yaitu pembelajaran sejarah pada teori belajar konstruktivistik pada dasarnya adalah sama saja seperti pengaplikasian teori ini pada mata pelajaran lainya. Yaitu sesuai dengan kaidah-kaidah aturan dari teori ini, serta peranan masing-masing komponen pendidikan, yang diuraikan sebagai berikut:
·         Proses Belajar
Secara konseptual, proses belajar jika dipandang dari pendekatan kognitif, bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa, melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa kepada pengalamanya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada pemutakhiran struktur kognitifnya. Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi prosesnya dari pada segi perolehan pengetahuan dari fakta-fakta yang terlepas-lepas. Pemberian makna terhadap objek dan pengalaman oleh individu tersebut tidak dilalui secara sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan melalui interaksi dalam jaringan sosial yang unik, yang terbentuk baik dalam budaya kelas maupun di luar kelas.
·         Peranan Siswa
Belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si pembelajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berpikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Pada hal ini hakikatnya kendali belajar sepenuhnya ada pada siswa.
Paradigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuan awal tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang bar.
·         Peranan Guru
Dalam hal ini guru atau pendidik berperan membantu agar proses pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak mentranfer pengetahuan yang dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk pengetahuanya sendiri. Peranan kunci guru dalam interaksi pendidikan adalah pengendalian, yang meliputi:
1)      Menumbuhkan kemandirian dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil kepuusan dan bertindak;
2)      Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan siswa;
3)      Menyediakan sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar siswa mempunyai peluang optimal untuk berlatih.

·         Sarana Belajar
Pendekatan konstruktivistik menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktifitas siswa dalam mengkonstruksi pengetahuanya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainya disediakan untuk membantu pembentukan tersebut. Siswa diberi kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan pemikiranya tentang sesuatu yang dihadapinya. Dengan demikian siswa terlatih untuk berpikir sendiri, memecahkan masalah yang dihadapinya, mandiri, kreatif, dan mampu mempertanggungjawabkan pemikiranya secara rasional.
·         Evaluasi Belajar
Pandangan teori ini mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan intepretasi terhadap realitas, konstruksi pengetahuan, serta aktivitas lainya yang didasarkan pada pengalaman. Hal ini memunculkan pemikiran terhadap evaluasi belajar dengan teori ini. Ada perbedaan penerapan evaluasi belajar antara pandangan behavioristik yang objektif dengan konstruktivistik.
Pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa realitas ada pada pikiran seseorang. Manusia mengkonstruksi dan mengintepretasikanya berdasarkan pengalamanya. Apabila pada pandangan behavioristik tradisional lebih diarahkan pada tujuan belajar, sedangkan evaluasi pada teori konstruktivisme menggunakan goal-free evaluation, yaitu suatu konstruksi untuk mengatasi kelemahan evaluasi pada tujuan spesifik. Hasil belajar konstruktivistik lebih tepat dinilai dengan metode goal-free, yang memerlukan proses pengalaman kognitif bagi tujuan-tujuan konstruktivistik.
Bentuk-bentuk evaluasi konstruktivistik dapat diarahkan pada tugas-tugas autentik, mengkonstruksi pengetahuan yang menggambarkan proses berpikir yang lebih tinggi seperti tingkat “penemuan” pada taksonomi Meriil, atau “strategi kognitif” dari Gagne, serta “sintesis” pada taksonomi Bloom. Juga mengkonstruksi pengalaman siswa, dan mengarahkan evaluasi pada konteks yang luas dengan berbagai perspektif.[14]





















BAB 3. PENUTUP
3.1  Simpulan
Teori konstruktivistik didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat kognitif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.
Teori belajar konstruktivisme memiliki beberapa karakteristik antara lain; memberi peluang kepada pembelajar untuk membina pengetahuan baru melalui keterlibatanya pada dunia sebenarnya, mendorong ide-ide pembelajar sebagai panduan merancang pengetahuan, mendukung pembelajaran secara kooperatif, mendorong dan menerima usaha dan hasil yang diperoleh pembelajar, mendorong pembelajar mau bertanya dan berdialog dengan guru, menganggab pembelajaran sebagai suatu proses yang sama penting dengan hasil pembelajaran, mendorong proses inquiry pembelajar melaui kajian dan eksperimen, dll.[15]
Dalam teori belajar konstruktivistik, pada aplikasinya memiliki kelebihan yaitu siswa di tuntut mandiri untuk mengkonstruksi mengetahuanya. Sehingga menghasilkan suatu komposisi tingkat pengetahuan yang kuat dalam ingatan serta membuat siswa semakin kreatif dan dapat mengerjakan setiap masalah dengan pemecahanya sendiri. Namun selain kelebihan yang dimiliki, teori belajar konstruktivistik juga memiliki kelemahan, antara lain; dengan segala tuntutan yang diberikan untuk siswa menjadikan peran guru sangat berkurang, selain itu siswa berbeda persepsi satu dengan yang lainya, serta dengan cakupan yang luas terkadang terlalu menyulitkan.
Bagi kaum konstruktivis, mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru kepada siswa, melainkan penciptaan sesuatu yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuanya. Mengajar berarti partisipasi aktif guru bersama-sama siswa dalam membangun pengetahuanya, membuat makna mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan jastifikasi.
3.2  Saran
Belajar merupakan suatu usaha yang dilakukan manusia untuk menuju proses mengetahui dari sebelumnya belum mengetahui ataupun kurang tahu. Dalam perkembangnya, belajar bukan lagi sekedar aktivitas sederhana, melainkan memiliki berbagai teori yang pada dasarnya bertujuan untuk menyukseskan tujuan dari belajar itu sendiri.
Upaya pembaharuan dalam dunia belajar mengajar hendaknya bukan menjadi kendala yang menyulitkan kegitan belajar itu sendiri, tetapi harus memberikan suatu sentuhan pencerahan yang semakin membawa kemajuan. Oleh karena itu, perkembangan-perkembangan yang terjadi khususnya dalam sisi positif perlu kiranya untuk selalu dijadikan referensi yang diushakan menjadi perbaikan pada masa yang akan datang.









DAFTAR PUSTAKA
Budiningsih, C. Asri. 2012. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Saefuddin, Asis. 2014. Pembelajaran Efektif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Suardi, Mohamad. 2015. Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Deepublish.
Tobroni, M. 2015. Belajar dan Pembelajaran - Teori dan Praktik. Yogyakarta: Arruz Media.


[2] Saefuddin, Asis. 2014. Pembelajaran Efektif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Hlm. 12-14.
[3] Suardi, Mohamad. 2015. Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Deepublish. Hlm. 164-171.
[4] Tobroni, M. 2015. Belajar dan Pembelajaran - Teori dan Praktik. Yogyakarta: Arruz Media. Hlm. 91-101.
[5] Tobroni, M. 2015. Belajar dan Pembelajaran - Teori dan Praktik. Yogyakarta: Arruz Media. Hlm. 91-101.
[6] Suardi, Mohamad. 2015. Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Deepublish. Hlm. 164-171.
[7] Tobroni, M. 2015. Belajar dan Pembelajaran - Teori dan Praktik. Yogyakarta: Arruz Media. Hlm. 91-101.
[8] Suardi, Mohamad. 2015. Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Deepublish. Hlm. 164-171.
[9] Tobroni, M. 2015. Belajar dan Pembelajaran - Teori dan Praktik. Yogyakarta: Arruz Media. Hlm. 91-101.
[10] Suardi, Mohamad. 2015. Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Deepublish. Hlm. 164-171.
[11] Tobroni, M. 2015. Belajar dan Pembelajaran - Teori dan Praktik. Yogyakarta: Arruz Media. Hlm. 91-101.
[12] Saefuddin, Asis. 2014. Pembelajaran Efektif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Hlm. 12-14.
[13] Tobroni, M. 2015. Belajar dan Pembelajaran - Teori dan Praktik. Yogyakarta: Arruz Media. Hlm. 91-101.
[14] Budiningsih, C. Asri. 2012. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Hlm. 58-61.
[15] Tobroni, M. 2015. Belajar dan Pembelajaran - Teori dan Praktik. Yogyakarta: Arruz Media. Hlm. 91-101.

1 komentar:

  1. Terimakasih telah menjadi inspirasi dan referensi bagi kami

    https://www.dasarguru.com/teori-belajar-konstruktivisme/

    Salam Hormat,

    BalasHapus

Unordered List

Sample Text

Sample text

Total Tayangan Halaman

Social Icons

Blogger templates

Feature (Side)

Blogger news

Pages

AD (728x90)

Diberdayakan oleh Blogger.

Wikipedia

Hasil penelusuran

Pengikut

Featured Posts

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget